Judul Novel : Layar Terkembang
Penulis : S.
Takdir Alisjahbana
Tuti adalah putri
sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang pendiam teguh
dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu
serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang
gadis yang lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya
pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium, mereka bertemu
dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu
bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya
adalah Demang Munaf, tinggap di Martapura, Sumatra Selatan.
Perkenalan yang
tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang.
Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selal teringat
kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah
perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri
serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang
dinamis.
Esok harinya, ketika
Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan
Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan senang hati menemani
keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai
hal.
Sejak itu, pertemuan
antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu Tuti dan ayahnya
melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan persahabatan
biasa.
Tuti sendiri terus
disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri Sedar yang berlangsung
di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita.
Suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.
Pada masa liburan,
Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia bermaksud
menghabiskan masa liburannya bersama keindahan
tanah leluhurnya,
namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam
keadaan demikian, datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin
diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan
perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung.
Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian
menyusul sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun
segera meninggalkan Martapura.
Kedatangan Yusuf
tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun melepas
rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam
kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Sementara hari-hari
Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun demikian pikiran Tuti
tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat
pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat
cintanya kepada Tuti.
Ketika Maria mendadak
terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah tiba adik
Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal
keinginandsnya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu
sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai
bukan lelaki idamannya. Maka segera ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu,
keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di
rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC.
Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di
Pacet, Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu
kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di
Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di
pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok
tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar
akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam
pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat
tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi,
sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat
mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan
keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi
kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun
rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat
berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin
hubungan rumah tangga, Maria mengjhembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah
bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup
rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari
ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela
selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang
lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan
tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali
melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.